Prabowo Gandeng Bank Sentral China, Indonesia Melangkah ke Panggung Keuangan Global
Jakarta, faktualtimes.com
Di tengah pergeseran tatanan dunia dari unipolar menuju era multipolar, pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, serta penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Bank Indonesia (BI) dan People’s Bank of China (PBoC), mencerminkan lebih dari sekadar aktivitas diplomatik. Ini adalah langkah strategis yang menandai reposisi Indonesia dalam lanskap keuangan internasional.
Ketika banyak negara membentuk blok-blok ekonomi, Indonesia justru membuka akses – bukan sembarang akses, melainkan akses ke sektor moneter, tempat kekuatan kini ditentukan bukan hanya oleh militer atau industri, tetapi oleh arus modal, likuiditas, dan kepercayaan lintas negara.
PBoC saat ini tidak lagi hanya berfungsi sebagai pengendali inflasi domestik. Lembaga ini tengah berkembang menjadi salah satu arsitek sistem keuangan global.
Sebagai pengelola cadangan devisa lebih dari USD 3 triliun, penggerak internasionalisasi yuan (RMB), dan pendukung utama Belt and Road Initiative, PBoC juga menjadi pelopor sistem pembayaran lintas negara alternatif, yaitu CIPS – pesaing sistem SWIFT.
Penandatanganan MoU ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo tak sekadar membahas investasi, melainkan ikut serta dalam upaya pembentukan ulang tatanan keuangan dunia pasca perang dagang.
Dalam perjanjian tersebut, selain kerja sama transaksi bilateral untuk kebutuhan neraca berjalan, juga dibahas potensi kolaborasi pada neraca modal dan keuangan (capital dan financial account), membuka peluang kerja sama yang lebih luas dan mendalam.
Pertemuan ini perlu dilihat dalam konteks perubahan global yang lebih besar.
Amerika Serikat sedang melakukan penataan ulang ekonominya dengan mendorong produksi dalam negeri, memperbaiki neraca transaksi berjalan, dan mengurangi ketergantungan pada modal asing yang berfluktuasi.
Sementara itu, Tiongkok berusaha memperkuat posisi yuan dalam sistem keuangan global sebagai alternatif yang lebih stabil dan tahan terhadap tekanan politik dan sanksi internasional.
Dalam situasi inilah, Indonesia berpotensi menjadi jembatan strategis. Dengan membuka akses pembiayaan dalam yuan offshore (CNH), Indonesia dapat mendorong diversifikasi yang lebih sehat dalam struktur keuangan internasional.
Internasionalisasi CNH juga dapat membantu AS menjalankan rebalancing ekonomi domestiknya tanpa menciptakan kekosongan likuiditas di pasar negara berkembang.
Bagi Indonesia sendiri, ini berarti mengurangi ketergantungan pada pembiayaan jangka pendek berbasis dolar yang rentan terhadap arus modal keluar secara tiba-tiba.
Apa manfaatnya bagi Indonesia? Banyak. Pertama, pendanaan dalam RMB memberikan alternatif pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional.
Saat ini, Tiongkok memiliki likuiditas besar, dengan yield obligasi 10 tahunnya hanya sekitar 1,6%. Kedua, penguatan penggunaan RMB dapat mengurangi tekanan permintaan valas terhadap dolar AS, menciptakan stabilitas struktural bagi nilai tukar rupiah.
Ketiga, Bank Indonesia dan pemerintah bisa mengurangi dominasi instrumen jangka pendek seperti SRBI, dan mulai mengembangkan ekosistem pembiayaan jangka panjang berbasis berbagai mata uang. Semua ini mendukung upaya mencapai pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8%.
Langkah ini bukan sekadar kebijakan teknokratis, melainkan bentuk baru dari kedaulatan finansial. Indonesia mengambil peran dalam menyeimbangkan dua kekuatan besar dunia, sekaligus menciptakan ruang kemajuan bagi kesejahteraan nasional.
Ini juga menandai perubahan pendekatan diplomasi Indonesia dengan Tiongkok – dari yang sebelumnya fokus pada kerja sama infrastruktur (Diplomasi Beton) kini bergerak ke ranah finansial (Diplomasi Modal). Jika sebelumnya yang dibangun adalah jalan, pelabuhan, dan rel kereta, kini Indonesia dan Tiongkok membangun fondasi kerja sama keuangan jangka panjang.
Langkah ini penting dalam kerangka besar visi Presiden Prabowo: menjamin pembiayaan jangka panjang, memperkuat daya tahan eksternal, mengurangi gejolak nilai tukar, dan membangun sistem ekonomi yang tangguh terhadap tekanan global.
Pertemuan ini menegaskan arah baru: Indonesia bertekad menjadi jalur tengah dalam sistem keuangan dunia yang semakin bipolar. Bukan sebagai lawan dolar, tetapi juga bukan pengikut. Bukan tunduk pada Beijing, melainkan berperan aktif membentuk sistem global yang lebih adil, terbuka, dan berimbang.
Inilah langkah awal menuju jalur moneter baru, jalur permodalan yang berkelanjutan, dan masa depan ekonomi yang lebih stabil serta berdaulat. Di tengah ketidakpastian global, kekuatan bukan milik yang paling besar atau cepat, tetapi milik mereka yang mampu menjembatani dunia yang terpecah – dan Indonesia siap memainkan peran itu.