Ratusan Warga Gelar Unjuk Rasa, Tuntut Penutupan Ponpes Al-Umm Al-Warjayani
Bogor, faktualtimescom
Ratusan warga, mayoritas ibu-ibu, menggelar aksi unjuk rasa menuntut penutupan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Umm Al-Warjayani di Kampung Pulo, RT 08 RW 07, Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Demonstrasi ini dipicu oleh dugaan tindakan asusila yang dilakukan oleh seorang pengajar di pondok pesantren tersebut.
Aksi ini tidak hanya diikuti oleh warga RT 08, tetapi juga beberapa warga dari RT sekitar yang mengetahui dugaan pelecehan terhadap santri perempuan di dalam pondok pesantren. Warga mengaku geram dan meminta ponpes tersebut ditutup karena dinilai meresahkan serta mencemarkan nama baik kampung mereka.
Tuntutan warga diperkuat dengan adanya laporan kepolisian bernomor STPL/B/323/II/2025/SPKT/RES BGR/POLDA JBR terkait dugaan tindak asusila. Selain itu, seorang ibu dikabarkan tengah menjalani visum namun belum berani melaporkan kejadian tersebut secara resmi ke pihak berwajib.
Salah satu wali santri yang telah menarik anaknya dari ponpes mengungkapkan kekhawatirannya.
“Kalau anak saya masih di dalam, saya tidak berani bicara, takut ada apa-apa. Saya bayar bulanan Rp 350.000 sebagai infak karena masuk jalur dhuafa, sementara yang lain bayar Rp 5.500.000 untuk uang gedung. Awal masuk, saya juga harus bayar Rp 2.500.000,” ujarnya.
Ia juga menyoroti biaya sekolah yang dianggap tidak transparan.
“Kalau sekolahnya berinduk ke sekolah lain, seharusnya biaya ijazah dan lainnya tidak berjuta-juta. Padahal saya tanya langsung ke kepala sekolah SMP yang menaungi, katanya gratis. Tapi di ponpes, Pak Jajat menarik biaya Rp 1.750.000 hanya untuk ujian,” tambahnya.
Tak hanya itu, wali santri juga mengungkapkan adanya pungutan biaya tambahan untuk pengambilan ijazah sebesar Rp 200.000 serta biaya perpisahan sebesar Rp 1.750.000, sehingga totalnya bisa mencapai Rp 3.500.000 per anak.
Di lokasi yang sama, seorang mantan juru masak ponpes membenarkan keluhan para santri.
“Saya tahu semua kejadian di dalam. Saya memilih keluar sebelum dipecat. Hampir semua santri mengeluh kepada saya, baik soal makan yang kurang maupun pelecehan yang mereka alami,” ungkapnya.
Seorang santri perempuan yang sudah lulus juga memberikan kesaksian bahwa ijazah hanya diberikan setelah melunasi pembayaran.
“Angkatan saya bisa mengambil ijazah karena sudah bayar, tapi angkatan sebelumnya ijazahnya ditahan karena belum bayar,” katanya via telepon.
Selain itu, ada dugaan pelecehan lain yang dilakukan oleh seseorang bernama Mach E, yang diduga merekam santri perempuan saat mandi.
Hingga saat ini, pihak pondok pesantren belum memberikan keterangan resmi terkait tuduhan tersebut. Warga berharap aparat berwenang segera mengambil tindakan tegas terhadap dugaan kasus ini.